Negara-negara dalam rumpun Nusantara perlu saling meningkatkan kerjasama dalam penyebaran karya penulis wanita dengan memperluas potensi penerbitan, apresiasi karya, pertukaran penulis dan lainnya.
Selain itu, karya sastra maya atau cyber sebagai genre baru perlu diberi perhatian oleh semua pihak, agar bisa turut diterima dalam artus sastra Nusantara.
Demikian sebagian dari 9 rumusan “Seminar Wajah Kepengarangan Muslimah Nusantara” yang berlangsung selama tiga hari, 31 Maret – 2 April 2009 di gedung Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Kuala Lumpur. Rumusan itu dibacakan oleh Dato’ Dr. Anwar Ridhwan dari Persatuan Kesusasteran Bandingan Malaysia (PKBM) dalam acara penutupan seminar yang diikuti oleh para sastrawan dan ahli dari Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam, Singapore dan Thailand.
Seminar ini, menurut Dato’ Kemala sebagai Ketua Panitia, diselenggarakan oleh PKBM, DBP dan Permodalan Nasional Berhad (PNB) bekerjasama dengan Istitut Terjemahan Negara Malaysia, Jabatan Warisan Negara, Kementerian Perpaduan, Kebudayaan, Kesenian dan Warisan, Masjid Abdul Rahman bin Auf dan eSastera.com.
Para sastrawan dari Indonesia yang diundang untuk membawakan makalah dan membaca puisi adalah Hudan Hidayat, Abidah El Khalieqy, Johanes Sugianto dan Kirana Kejora, serta sosiolog Silfia Hanani dan anthropolog Emmy Marthala (keduanya juga mahasiswa di Malaysia).
Kehadiran para sastrawan Indonesia ini cukup menarik perhatian para sastrawan dan pengamat sastra Malaysia, yang tampak dalam tanya jawab dalam setiap diskusi. Kedekatan budaya dan bahasa antara kedua Negara ini menjadi faktor yang mengakrabkan kedua pihak dalam berbincang seputar sastra. Sastrawan Negara Malaysia yang tersohor, Datuk (Dr) A. Samad Said dalam ceramahnya juga menyampaikan rasa senang dengan hadirnya wajah-wajah baru sastrawan Indonesia.
Tema dan Bengkel
Meskipun bertajuk “Wajah Kepengarangan Muslimah Nusantara”, dalam seminar ini juga terdapat sesi yang tak semata membahas topik itu, semisal Bengkel Puisi seperti diberikan oleh Abidah El Khalieqy, Dr.Zurinah Hassan dan Nisah Haji Haron (keduanya dari Malaysia), Bengkel Penulisan Skenario Film oleh Kirana Kejora dan pembahasan karya novel seperti disajikan oleh DR.Norhayati Abdul Rahman dan Azizi Haji Abdullah Ahkarim.
Pembahasan karya puisi juga ditampilkan, seperti oleh Arbak Othman yang membahas aspek pengucapan kognitif dan intelektual dalam antologi puisi “Syurga Kesembilan” karya Dato’Kemala, Hajah Samsina Hj.Abd.Rahman terhadap karya penyair Sabah Ony Latifah Osman, Sahara Jais dan Rosnah Radin, serta Siti Aisah Murad yang menyoroti ciri-ciri sastra Islam dalam Dua Dimensi Khadijah Hashim.
Perkembangan sastra cyber yang makin marak di Indonesia juga masuk dalam kajian makalah beberapa pembicara seperti dari Asmi Rahman dari Universiti Utara Maysia, Hasimah Harun dan Prof.Dr.Ir.Wan Abu Bakar yang keduanya merupakan pendiri eSastra.com.
“Wajah Kepengarangan Muslimah Nusantara” yang menjadi tema utama seminar ini lebih tampak tampil dalam makalah Fatimah Busu (Malaysia), Rasiah Halil (Singapura), Zurinah Hassan (Malaysia), Aminah Yasalam (Thailand), Abidah El Khalieqy dan Johannes Sugianto. Meski dengan berbagai sudut pandang yang berbeda, namun benang merah atas wajah penulis, baik prosa maupun puisi, terentang dari makalah yang mereka sajikan.
Sayangnya waktu yang begitu sempit bagi setiap pembicara membuat beberapa tema menarik, yang menyajikan wajah penulis muslimah di masing-masing Negara dengan berbagai persoalannya, tidak terangkat secara maksimal. Padahal melalui tema seminar yang menggelitik itu diharapkan adanya peta sastra akan wajah para penulis muslimah Nusantara yang tersebar di lima Negara.
Seperti sajian makalah penyair Singapura, Rasiah Halil yang menyajikan data tentang para penulis muslimah Singapura sebelum dan setelah tahun 1972, dengan berbagai tema yang diusung para penulis tersebut. “Tema-tema baru yang disentuh para penulis Singapura seperti aids, lesbian dan feminisme merupakan perubahan pandangan yang menarik terhadap sastra Islam. Namun apapun tema itu, tetap harus diperhatikan seperti apa teknik penulisannya yang tidak boleh keluar dari nilai-nilai Islam”, ujar Rasiah Halil.
Pembicara lainnya, Aminah Yasalam dari Thailand memaparkan penelitiannya tentang karya penyair wanita di Patani, Thailand Selatan yang kurang banyak diketahui masyarakat sastra. Sajak-sajak Melayu Patani dalam makalah bertajuk Suara Hati Penyajak Wanita Muslimah Dalam Sajak-Sajak Melayu Patani itu merujuk pada karya orang Melayu yang berada di empat wilayah selatan Thailand yaitu Patani, Yala,Setul, Narathiwat dan sebagian Songora.
“Tema yang masih menjadi pilihan para penyair muslimah Melayu Patani adalah nasionalisme dan keagamaan, sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap pemerintahan Thailand. Di tengah situasi yang kurang kondusif, mereka tetap bersajak dalam berbagai lomba penulisan puisi dan deklamasi,” kata Aminah Yasalam.
Tidak Mudah
Hal lain yang menarik dari makalah yang disajikan adalah masih kaburnya sebutan Penyair Muslimah, seperti dari Abidah El Khalieqy dan Johannes Sugianto yang kebetulan keduanya berasal dari Indonesia. Abidah, penyair yang novelis (salah satu karyanya telah difilmkan yaitu “Perempuan Berkalung Sorban”) menyebutkan, di tengah percakapan tentang puisi Islami, puisi religius Islam atau puisi bernafaskan Islam, eksistensi Penyair Muslimah nyaris tidak pernah di diwacanakan.
Sebutan itu sendiri tidaklah popular, dan biasanya hanya ditempelkan secara formal kepada perempuan penyair yang beragama Islam. Maka, jika Cuma formalitas itu yang digunakan untuk menunjuk keberadaannya, semua perempuan yang beragama Islam dan menulis puisi serta mempublikasikannya lewat media massa, 99% perempuan Indonesia yang telah melahirkan karya puisi dapat dinisbahkan menjadi Muslimah Penyair.
Sementara itu, Johannes Sugianto yang juga Ketua PaSar MaLam (Paguyuban Sastra Rabu Malam) dalam makalahnya “Penyair Muslimah Dalam Nilai Islam dan Universal” mengatakan, menengok nilai Islam dalam puisi penyair Indonesia, khususnya penyair Muslimah merupakan hal yang menarik dan menantang. Tapi ternyata hal ini tidak mudah sebab di Indonesia lebih mudah menemukan penyair laki-laki ketimbang penyair perempuan (dengan latar belakang agama apa pun). Selain itu, penerapan nilai Islam dalam puisi penyair Muslimah Indonesia tak selalu formal, tapi sering muncul secara informal atau universal.
Hal lain yang tak boleh dilupakan, pelabelan ‘Puisi Islami’ tidaklah bisa begitu saja diberikan kepada karya seorang penyair, karena mempunyai konsekuensi yang bermata dua. Pada satu sisi, secara positif, pelabelan itu menjadi pengikat emosi antar komunitas Islam, karena mampu memberi penanda identitas yang jelas bagi penulis. Selain itu, penulisan puisi bisa juga dipandang sebagai alat dakwah yang cukup urgen bagi pencerahan umat. Pendapat terakhir ini juga bisa diperdebatkan karena daya siar atau jangkauan puisi di Indonesia tidaklah seluas novel yang belakangan ini marak dengan pelabelan sebagai Sastra Islami.
Sisi lain yang bisa menjadi sesuatu yang negatif, dengan pelabelan sebagai penyair Islam, adalah adanya kesan bahwa karya puisi yang tidak berstempel “sastra Islami” bukanlah sastra bernapaskan Islam. Padahal lewat karyanya itu si penyair sudah berjuang mengangkat isyu kemanusiaan, keadilan, penindasan, kemiskinan dan lainnya, yang semuanya merupakan elemen-elemen agama yang substantif. Implikasi yang ditimbulkannya pun bisa serius karena memunculkan klaim yang menjurus pada dikotomi : kami yang Islami, kalian tidak!
“Terlepas dari berbagai pendapat itu, di masa mendatang diharapkan dunia sastra (Indonesia) bisa bekerja lebih maksimal bagaimana mengelola isi sastra, melakukan berbagai ekpsresimen peristiwa, memberi terobosan pada ide-ide, daripada sibuk menempelkan berbagai brosur atau sebutan sastra Islami,” ujar Johannes Sugianto yang dalam makalahnya itu menampilkan puisi tiga penyair muslimah Indonesia yaitu Rukmi Wisnu Wardhani, Fatin Hamama dan Evi Idawati.
Sedangkan penulis Fatimah Busu yang cukup terkenal di Malaysia, dalam makalahnya mengatakan bahwa hingga kini belum banyak lagi dijumpai karya kreatif dari penulis muslimah nusantara yang secara khusus mencerminkan keIslaman.
Terjadinya kelangkaan karya seperti itu tak lepas dari kecenderungan karya, terutama novel, yang berorientasi pada aspek hiburan. Hal ini berbeda dengan para penulis pada masa Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45 dan Asas 50 seperti dalam karya penulis Indonesia seperti Marah Rusli dengan Siti Nurbaya, Armin Pane (Belenggu), Abdoel Moeis (Salah Asuhan) atau penulis Malaysia seperti Ahmad Kotot (Hikayat Percintaan Kasih Kemudaan), Ahmad Rashid (Iakah Salmah) dan Mohd.Yusuf Ahmad (Mencari Isteri).
“Kondisi ini membuat saya sulit menjumpai kreatif yang mempunyai “wajah kepengarangan muslimah” terutama di Malaysia ini”, ujar Fatima Bussu yang terkenal dengan keberaniannya lewat novel “Salam Maria” yang memikat dan menimbulkan kontroversi.
Cinta
Selain hasil seminar yang terangkum dalam 9 rumusan, hal lain yang menjadi oleh-oleh bagi sastrawan Indonesia adalah besarnya harapan Dato’ Kemala, penyair Malaysia yang meraih SEA Write Award 1986, akan eratnya jalinan kerjasama antara sastra kedua Negara. “Saya hadir di Sastra Reboan yang diselengarakan oleh PaSar MaLam pada Januari 2009 lalu tak lain dengan harapan sederhana saja yaitu mempersempit jurang sastra Malaysia dan Indonesia”, tegasnya ketika memberikan pidato dalam penutupan seminar, Kamis malam.
Jika sastrawan senior dan wajah-wajah baru di Indonesia bahu-membahu, tambahnya, serta sastrawan Malaysia karya bisa dijumpai dengan mudah di toko-toko buku di Indonesia atau diundang untuk dating, maka diharapkan bisa menghapus tudingan tentang Malaysia sebagai pencuri lagu-lagu Indonesia.
Kami ingin para sastrawan Indonesia memahami bahwa sastrawan Malaysia cinta Indonesia, tegas Dato’ Kemala yang mendapat sambutan hangat dari para peserta seminar. (yo)
Sumber : https://travel.kompas.com/read/2009/04/05/01270492/deretan.harapan.bagi.penulis.muslimah?page=all
0 Comments