Saat belajar berpuisi bersama komunitas Bunga Matahari (BuMa), ada pengalaman menarik yang menjadi salah satu langkah menjadi penyair. Mungkin bagi orang lain biasa saja.
Saya lupa waktunya yang sebenarnya, mencoba mencari di mbah Google belum ketemu juga. Tapi itu di awal tahun 2000. Perkiraan saya itu 2006. BuMa saat itu meminta puisi anggotanya untuk dipilih dan dibaca oleh Sitor Situmorang. Saya mengirimkan beberapa puisi.
Dia adalah legenda. Salah satu sajak paling terkenal karya Sitor Situmorang adalah "Malam Lebaran" yang terdapat dalam buku Dalam Sajak (1955). Penyebab ia bisa terkenal tak tunggal, tapi yang paling sering dibicarakan lantaran sajak tersebut hanya terdiri dari empat kata saja.
Salah satu puisi saya terpilih untuk dibaca Sitor. Ketika itu, TS Pinang, penyair asal Jogja menjadi salah satu yang menyeleksi mengatakan : "Sitor berkomentar : dalam menulis puisi janganlah mencoba menasihati.". Komentar itu diberikan Sitor atas puisi saya "Empat Puluh Empat".
Kalimat itu selalu saya ingat hingga kini. Kalimat seorang maestro yang sangat berarti.
Saya menangkap komentar Sitor itu sebagai pengingat, pedoman bahwa biarlah larik dalam puisi berbicara sendiri, tak perlu diarahkan untuk menjadi petuah atau minta simpati. Jika pembaca merasakan keperihan biarlah itu dinikmatinya. Jika menangkap ruh puisi tentang kegundahan, biarlah itu dikunyahnya.
Lalu keesokan harinya saya hadir dalam acara BuMa bersama Sitor di @library di gedung Kemendikbud, Senayan.
Sebelum acara, saya diminta mendampingi Sitor untuk makan siang. Sitor bersama istri terakhirnya, Barbara Brouwer. Ada rasa grogi, dan tak banyak yang dibicarakan. Namun sempat terlontar beberapa pertanyaan seputar berpuisi.
Nasihat dan makan siang bersama Sitor jadi kenangan luar biasa. ***
0 Comments