Keputusan Komdis PSSI terhadap PSS Sleman (Foto : Twitter) |
Pengaturan hasil pertandingan
alias match fixing jadi barang haram di dunia sepakbola. Tentu juga di cabang
olahraga lainnya.
Perputaran uang dari
pengaturan skor ini tidaklah sedikit. Para pelakunya tak peduli akan merugikan
klub mana, asal ada duit mengalir untuk menyuap perangkat pertandingan atau
wasit. Tidak peduli juga bagaimana para suporter mengorbankan waktu dan uang
untuk mendukung tim kesayangannya, tanpa tahu sudah dicurangi untuk kalah.
Namun, nafsu untuk terus
meraih tiga poin dan bertahan atau syukur-syukur bisa promosi, seperti
membutakan jargon fair play di bendera yang dibawa anak-anak sebelum laga
dimulai.
Kini klub-klub, terutama yang
berkiprah di Liga 1 bisa dengan tenang melakukannya. Dendanya kecil, bahkan
lebih kecil dari penyalaan flare di lapangan yang menyebabkan pertandingan
terhenti.
Nah, daripada suporter
mengamuk karena klub kesayangannya kalah, lebih baik manajemen klub melakukan
match fixing. Belum lagi ada yang merusak fasilitas stadion, klub yang pasti
mengganti kerugian. Dari segi biaya yang dikeluarkan jelas lebih ringan
daripada flare.
Analog di atas tentu bukan
saran yang baik bagi klub Liga 1. Itu sesat.
Apalagi Ketua Umum PSSI, Erick
Thohir sudah mengeluarkan ancaman untuk tidak memberi ampun bagi para pelaku
match fixing itu.
"Saya pernah katakan, jangan main-main. PSSI sudah berkomitmen dengan Polri, kita selidiki, ada bukti yang kuat, maka langsung sikat, tidak pandang bulu," ujar Erick pada rilisnya, 21 Desember 2023.
Erick yang juga Menteri BUMN kembali menegaskan dan
memastikan akan memberikan sanksi tegas terhadap pelaku match fixing dalam
kompetisi liga sepak bola di Indonesia.
"Ada satu poin besar, saya tidak ada toleransi
mengenai match
fixing," ujar Erick saat membuka acara Workshop Aturan Baru
Liga 1 Musim 2024-2025 seperti dalam tayangan video yang diunggah akun
instagram pribadi: @erickthohir yang dipantau di Jakarta, Minggu, 14 Juli 2024.
Dalam acara sosialisasi aturan yang disampaikan perwakilan tim Komite Perwasitan PSSI Yoshimi Ogawa, Erick kembali menegaskan komitmen PSSI untuk melakukan transformasi liga sepak bola di tanah air.
Bicara Lain
Meski begitu kenyataan
berbicara lain. Klub yang oficialnya, mulai dari direksi perusahaan hingga
manajemen tim, yang sudah terbukti melakukan suap untuk pengaturan hasil
pertandingan, hanya didenda murah meriah : pengurangan tiga poin dan denda uang
sebesar Rp 150 Juta.
Klub itu, PSS Sleman yang
mendapat dua sanksi tersebut dari Komite Disiplin (Komdis) PSSI, karena
terbukti melakukan match fixing pada musim kompetisi Liga 2 2018. Match fixing
itu terjadi dalam laga antara PSS Sleman menghadapi Madura FC pada 6 November
2018
Saat itu klub berjulukan Super
Elang Jawa itu berhasil menjadi juara, mendapat promosi ke Liga 1 2019 dan
tetap bertahan hingga saat ini.
Sanksi itu dijatuhkan oleh
Komdis lewat keputusannya tanggal 6 Agustus 2024. Di awal keputuannya, Komdis menyitir
putusan PN Sleman tangal 25 April 2024 tentang tindak pidana suap kepada
perangkat pertandingan yang bertugas pada laga antara PSS Sleman
Dalam keputusan yang
ditandatangani oleh Ketua Komdis, Eko Hendro Prasetyo juga disebutkan bahwa
perbuatan suap ke perangkat pertandingan itu bukan atas perintah Soekeno, yang disebut
Komdis, saat itu menjadi Direktur Utama PSS Sleman.
Selain itu Komdis PSSI juga
menyatakan bahwa penyuapan itu dilakukan oleh Vigit Waluyo, disebut sebagai
orang yang di luar struktur klub PSS Sleman, yang memerintahkan Antonius Rumadi
(Direktur Operasional PT PSS), Dewanto Rahadmoyo Nugroho (Asisten Direktur Utama
klub PSS) dan Kartiko Mustikaningtyas (Laison Officer klub).
PSS Sleman, yang oleh Satgas
Antimafia Bola hanya disebut klub, berdasarkan hasil penyidikan mengaku sudah
mengeluarkan total hingga Rp 1 miliar untuk melobi para wasit dalam beberapa
pertandingan.
"Dari hasil penyidikan, ada bukti cukup sehingga ditetapkan enam tersangka. Pihak klub mengaku mengeluarkan total uang hingga Rp1 miliar untuk melobi para wasit dalam beberapa pertandingan," sambungnya.
Sangat Ringan
Keputusan itu segera menjadi
sorotan publik. Sangat ringannya denda yang dijatuhkan Komdis PSSI terhadap PSS
Sleman membuat orang terperangah.
Pengamat sepakbola, yang juga
founder Freedom Istitute, Budi Setiawan sejak awal sudah pesimis atas sikap
lembek Komdis PSSI. Ia bahkan pesimis Komdis akan memberikan hukuman
sepantasnya bagi pelaku match fixing.
"Sebenarnya saya sudah
agak malas berbicara tentang status hukum PSS Sleman. Komdis PSSI terkesan melindungi pihak
tertentu dan tidak menunjukkan keseriusan terhadap kasus ini," kata Budi
Setiawan.
Ia juga menilai Komdis PSSI
tidak akan menghukum PSS Sleman dengan segala argumentasi. Kalau pun ada
hukuman, hanya sebatas potong poin dan itu pun tidak signifikan. Tidak sampai
12 poin.
Kini, setelah keluarnya sanksi
Komdis PSSI terhadap PSS Sleman, Budi Setiawan menilai hal itu bukan hanya
berdampak buruk terhadap janji kampanye Ketua Umum PSSI Erick Thohir yang
menginginkan sepakbola bersih dan penegakan disiplin, tetapi membunuh penegakan
hukum sepakbola.
"Putusan
Komdis PSSI ini sama saja mempermalukan Erick Thohir. Saya pikir agar komitmen
Erick Thohir ini clear dan tidak dianggap lips service, ya jangan ragu
mereformasi Komdis PSSI yang sudah jelas-jelas mempermainkan aturan," ujarnya.
Sedangkan Koordinator Save Our
Soccer (SOS),Akmal Marhali menilai itu sebuah keputusan yang aneh. Apalagi
secara hukum kasus ini sudah de facto di lapangan. Sudah ada penangkapan
terhadap lebih dari tujuh orang.
Menurut Akmal yang juga
anggota Satgas Antimafia Sepakbola Independen,putusan Komdis itu menyalahi
regulasi dan kode disiplin PSSI. Di Pasal 64 ayat 5 Kode Disiplin disebutkan,
hukuman terhadap tim yang melakukan pengaturan skor secara sistematis adalah
degradasi.
Lebih Rendah
Keheranan publik makin bertambah
saat keputusan Komdis PSSI itu lebih dulu muncul di sosial media, bukannya di
laman resmi PSSI. Seperti pada akun Instagram @pengamatsepakbola dan akun
Twitter mantan CEO PT Putra Sleman Sembada (PT PSS), Viola Kurniawati.
Sorotan tajam terhadap Komdis
PSSI tidaklah mengherankan. Hukuman sebesar Rp 150 juta bahkan lebih rendah
dari denda yang diterima oleh klub karena suporternya melempar flare.
Sebut saja Bali United yang
terkena denda sebesar Rp250 juta akibat suporter menyalakan suar atau flare dan
petasan pada laga putaran pertama perebutan juara ketiga melawan Borneo FC di
Stadion Kapten I Wayan Dipta, Kabupaten Gianyar, Bali, 25 Mei 2024.
Fakta dan pertimbangan keputusan Komdis PSSI (Foto : Ist) |
Denda lainnya akibat flare
dikenakan kepada Persebaya Surabaya saat menjamu Persis Solo di Stadion Gelora
Bung Tomo, 13 Desember 2023. Akibatnya, Persebaya didenda Rp 220 juta.
Kini, sorotan akan diarahkan
kepada Ketua Umum PSSI, Erick Thohir yang begitu menggebu-gebu berbicara soal klub
yang melakukan match fixing. Mulai dari istilah “sikat sampai tuntas”, “hukuman
seumur hidup”, “jangan main-main” hingga ancaman degradasi bagi klub.
Begitu juga dengan hukuman
untuk wasit dan pemain yang akan dikenakan hukuman seumur hidup tidak bisa
beraktivitas di sepakbola.
Sekali lagi, kenyataan di
depan mata berbeda. Rumadi dan Dewanto misalnya, meski sudah divonis pengadilan
dan menjalani hukuman penjara, tapi oleh Komdis belum mendapat sanksi.
Entah transformasi apa yang
diinginkan PSSI saat organnya, Komdis sendiri menciderai keadilan dengan hukuman
yang begitu ringan terhadap klub yang terbukti melakukan match fixing.
Maka, tak mengherankan jika
nantinya klub akan memilih melakukan pengaturan skor yang lebih murah dibanding
denda pelemparan flare.
Selain itu, publik juga bisa
menilai pernyataan keras Erick Thohir hanyalah lips service semata untuk
pencitraan politis. ***
Sumber : https://www.kompasiana.com/johannessugianto/66ba3322ed64154e3e77f4d2/hukuman-match-fixing-lebih-ringan-ketimbang-lempar-flare
0 Comments