Bagi saya, yang menulis pun masih banyak lemahnya, menulis butuh suatu ritual tersendiri. Baik itu artikel, puisi dan buku.

Puisi misalnya. Dibutuhkan dorongan kuat, entah berupa debar kuat,rasa merinding, gelisah, sedih, kecewa atau marah.

Jika merasa mood sudah terkumpul, saya langsung menulis dengan kata-kata yang muncul begitu saja. 

Setelah itu dibaca lagi, kali ini bertindak sebagai pembaca. Melihat jalinan kata apakah terlihat logis, tidak mengada-ada, lebay atau dibuat seperti serius.

Pokoknya, puisi itu punya ciri kita sendiri. 

Setelah dirasa cukup pengamatan, pengeditan, simpan atau publikasikan.

Sering dikatakan, puisi itu jabang bayi yang dilahirkan oleh penyair. Pembaca akan menjadi orangtua asuhnya. Mereka akan memberikan penilaian.

Jika ada pendapat atau komentar yang kurang enak, telan saja itu sebagai salah satu asupan vitamin untuk menjadi lebih baik. Jangan dimasukkan ke hati, apalagi jadi kapok menulis lagi.

Penyair favorit saya, almarhum Rendra pernah berkata : Kalau kamu anggap yang kamu tulis itu puisi, ya puisi. Jangan dengarkan para kritikus.

Agt, 2024